ILHAM AGUS ADIYANTO - UU Cipta Kerja Produk Hukum Gagal : Perlindungan atau Ancaman bagi Kesejahteraan Buruh?


Sumber Gambar: lendoot.com

Oleh: Ilham Agus Adiyanto
Dipublikasikan Oleh: Ngr Network Electronic Publisher (Ngr Enterprise)
Diterima: 6 Maret 2025, 14.30 WIB

Sejarah Pengesahan UU Ciptaker

Undang-Undang Cipta Kerja lahir dari keinginan pemerintah untuk menyederhanakan regulasi yang dianggap menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Proses pembentukannya dimulai dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang yang mengusung konsep Omnibus Law, yaitu metode penyatuan dan revisi berbagai peraturan dalam satu undang-undang. Presiden Joko Widodo secara resmi mengajukan RUU Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Februari 2020, menandai awal dari pembahasan panjang yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pengusaha, akademisi, serta kelompok buruh.

Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam sebuah sidang paripurna. Keputusan ini menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama serikat pekerja yang menilai kebijakan tersebut berpotensi mengurangi hak-hak buruh. Perubahan aturan mengenai sistem kerja kontrak, pengupahan, pesangon, serta mekanisme outsourcing menjadi sorotan utama dalam perdebatan publik. Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai daerah, mencerminkan ketidakpuasan banyak pihak terhadap ketentuan yang dianggap lebih menguntungkan pengusaha dibanding pekerja.

Ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja mencapai puncaknya ketika sejumlah kelompok menggugat undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 25 November 2021, MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik yang seharusnya dijalankan dalam pembuatan undang-undang. MK memberikan tenggat waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki aturan tersebut, sehingga memberikan ruang bagi revisi yang lebih transparan dan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.

Sebagai respons terhadap putusan MK, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perppu ini kembali memicu perdebatan karena dinilai masih mempertahankan substansi yang sama dengan undang-undang sebelumnya. Pada 21 Maret 2023, DPR secara resmi mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang kemudian menjadi dasar hukum terbaru dalam kebijakan ketenagakerjaan dan investasi di Indonesia.

Pengesahan ulang UU Cipta Kerja tetap menghadirkan berbagai polemik, khususnya dari perspektif kesejahteraan buruh. Banyak pekerja yang merasa bahwa aturan tersebut lebih berpihak pada fleksibilitas tenaga kerja bagi pengusaha, tetapi mengurangi perlindungan dan kepastian kerja bagi mereka. Hingga saat ini, dampak dari implementasi undang-undang ini masih menjadi perdebatan, dengan berbagai pihak yang terus mengkaji sejauh mana kesejahteraan buruh dapat benar-benar terjamin di tengah perubahan regulasi ini.

Menurut pemerintah, Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) dan revisinya melalui UU No. 6 Tahun 2023 bertujuan untuk menyederhanakan regulasi, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja. Undang-undang ini mencakup berbagai sektor yang sebelumnya diatur dalam banyak peraturan berbeda.

Berikut beberapa isi utama UU Cipta Kerja menurut pemerintah:

1. Kemudahan Investasi dan Perizinan Berusaha

  • Penyederhanaan izin usaha melalui perizinan berbasis risiko, di mana usaha dengan risiko rendah hanya memerlukan Nomor Induk Berusaha (NIB).
  • Pemberian insentif bagi investor untuk meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global.
  • Penyederhanaan regulasi bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), termasuk kemudahan dalam proses pendirian dan akses permodalan.

2. Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Buruh

  • Upah minimum tetap diatur oleh pemerintah daerah dengan formula baru yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
  • Pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) disederhanakan menjadi maksimal 25 kali gaji, dengan tambahan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
  • Kontrak kerja tanpa batas waktu dihapuskan, memungkinkan perusahaan untuk menerapkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) secara lebih fleksibel.
  • Sistem outsourcing diperluas, memungkinkan perusahaan menggunakan tenaga alih daya untuk berbagai sektor tanpa batasan jenis pekerjaan tertentu.
  • Cuti dan jam kerja tidak berubah, termasuk cuti hamil, cuti sakit, dan libur mingguan tetap sesuai dengan regulasi sebelumnya.

3. Kemudahan dalam Pengadaan Tanah

  • Percepatan proses pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional melalui mekanisme yang lebih sederhana.
  • Penyesuaian aturan terkait pembebasan lahan guna mendukung investasi dan pembangunan infrastruktur.

4. Reformasi di Sektor Perpajakan

  • Pengurangan tarif pajak bagi perusahaan guna mendorong investasi dalam negeri.
  • Pemberian insentif pajak bagi pelaku usaha yang menjalankan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia.

5. Kemudahan dalam Investasi di Sektor Pertanian dan Perhutanan

  • Pemberian izin usaha bagi pemanfaatan lahan hutan untuk kepentingan investasi dan pembangunan.
  • Penyederhanaan aturan untuk mempercepat perizinan di sektor agraria dan perkebunan.

6. Kemudahan dalam Investasi di Sektor Energi dan Pertambangan

  • Penyederhanaan regulasi untuk perizinan usaha pertambangan dan energi guna meningkatkan produksi dan efisiensi.
  • Insentif bagi perusahaan tambang yang melakukan hilirisasi sumber daya alam di dalam negeri.

Pemerintah berargumen bahwa dengan adanya UU Cipta Kerja, iklim investasi di Indonesia akan lebih kompetitif, sehingga menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain, berbagai pihak, khususnya kelompok buruh dan lingkungan, menilai bahwa beberapa ketentuan dalam undang-undang ini lebih menguntungkan pengusaha dan berpotensi mengurangi hak-hak pekerja serta merusak lingkungan.

(Sjaiful, 2021)Setiap peraturan yang diterapkan pasti menimbulkan dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak tersebut akan memicu reaksi publik, di mana masyarakat akan memberikan respons terhadap konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Efek yang muncul bersifat permanen, artinya jika kebijakan memiliki dampak positif, maka di sisi lain juga akan ada dampak negatif yang menyertainya. Salah satu peraturan yang menimbulkan reaksi publik adalah Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus Law.

Di sisi lain, peraturan ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hak-hak pekerja, yang mencakup beberapa aspek berikut:

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

PKWT merupakan perjanjian kerja yang memiliki batas waktu tertentu. Sistem kontrak ini memberikan dampak positif maupun negatif bagi pekerja setelah masa kerja mereka berakhir. Di satu sisi, pengusaha memiliki hak untuk memberhentikan pekerja setelah kontrak selesai. Namun, pekerja juga memiliki kemungkinan untuk melanjutkan masa kerja dan beralih menjadi pegawai tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, PKWT sering dianggap merugikan pekerja karena tidak memberikan kepastian status ketenagakerjaan. Kebijakan ini sering dimanfaatkan oleh pengusaha untuk merekrut dan mengakhiri hubungan kerja dengan lebih mudah, serta menerapkan upah yang lebih rendah bagi pekerja kontrak.

Sejak diterbitkannya Perppu Cipta Kerja, terjadi perubahan dalam regulasi ini. Peraturan tersebut tidak lagi mengatur durasi maksimal PKWT, durasi maksimal setiap kontrak PKWT, serta batas waktu maksimal perpanjangannya. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, durasi maksimal PKWT ditetapkan selama lima tahun. Kurangnya batasan ini menyebabkan ketidakpastian status ketenagakerjaan bagi pekerja, karena masa kontrak dapat terus diperpanjang tanpa ada kepastian menjadi karyawan tetap. Selain itu, pekerja dengan status PKWT juga tidak mendapatkan tunjangan yang sama seperti karyawan PKWTT, yang berpotensi meningkatkan kesenjangan di lingkungan kerja.

2. Upah atau Gaji

Upah merupakan hak pekerja yang diberikan sebagai bentuk imbalan dari pemberi kerja dalam bentuk uang. Pasal 88 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa salah satu prinsip pengupahan adalah untuk menjamin pekerja dapat memenuhi kehidupan yang layak.

Namun, perubahan dalam Perppu Cipta Kerja menimbulkan penolakan di kalangan pekerja. Perppu ini menyisipkan enam pasal baru, yaitu Pasal 88A hingga 88F. Dalam Pasal 88C, disebutkan bahwa gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). UMK hanya akan ditetapkan jika hasil perhitungannya lebih tinggi dibandingkan dengan UMP. Pada Pasal 88C Ayat 4, disebutkan bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang datanya bersumber dari lembaga statistik berwenang. Serikat buruh mengkritik pasal ini karena kata "dapat" dalam penetapan UMK oleh gubernur berpotensi menyebabkan ketidakpastian dalam penerapan upah minimum di berbagai daerah. Selain itu, Pasal 88F memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan formula perhitungan upah minimum yang berbeda dalam kondisi tertentu.

Dalam Perppu Cipta Kerja, formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Berbeda dengan UU Ketenagakerjaan, yang tidak mencantumkan unsur indeks tertentu dalam perhitungan upah minimum. Hal ini dianggap memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk mengubah aturan pengupahan tanpa batasan yang jelas, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja.

3. Outsourcing

Outsourcing atau sistem alih daya adalah mekanisme yang sering digunakan perusahaan untuk menekan biaya operasional dan meningkatkan efisiensi dengan mempekerjakan pihak ketiga untuk menjalankan tugas tertentu. Dalam Pasal 81 Angka 18 Perppu Cipta Kerja, diatur batasan yuridis mengenai outsourcing. Pekerja outsourcing tetap memiliki hak-hak yang dijamin oleh hukum, termasuk perlindungan umum, sistem pengupahan, kesejahteraan pekerja, serta mekanisme penyelesaian perselisihan kerja. Namun, dalam praktiknya, sistem ini sering dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja dengan biaya lebih rendah.

Banyak pekerja outsourcing menerima upah dan tunjangan yang lebih kecil dibandingkan pekerja tetap, serta tidak selalu mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja dan asuransi. Hal ini berakibat pada ketimpangan kesejahteraan antara pekerja outsourcing dan pekerja tetap, yang semakin memperlebar kesenjangan dalam dunia kerja.

4. Pesangon bagi Pekerja yang Terkena PHK

Pesangon merupakan kompensasi yang diberikan kepada pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai bentuk penghargaan atas masa kerja mereka.mDalam peraturan sebelumnya, pekerja yang terkena PHK berhak mendapatkan pesangon maksimal 32 bulan gaji. Namun, setelah Perppu Cipta Kerja diterapkan, jumlah pesangon dikurangi menjadi maksimal 25 bulan gaji, dengan rincian:

  • 19 bulan gaji dibayarkan oleh perusahaan.
  • 6 bulan gaji dibayarkan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Pengurangan pesangon ini menyebabkan kekhawatiran di kalangan pekerja, terutama bagi mereka yang mengalami PHK. Tidak semua pekerja bisa langsung mengakses dana dari JKP, karena terdapat persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Hal ini membuat kondisi pekerja yang di-PHK menjadi lebih sulit, terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi setelah kehilangan pekerjaan.

Perppu Cipta Kerja merupakan bagian dari Omnibus law. Perppu Cipta Kerja ini merupakan perubahan atau amandemen dari Undang-undang Cipta Kerja sebelumnya. perppu ini dirancang menggunakan omnibus law untuk memperbaiki investasi, membuka lapangan kerja yang lebih luas, meningkatkan kapasitas tenaga kerja dan mengurangi masalah perizinan yang dianggap sebagai salah satu penghambat investasi, dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak melihat situasi global pasca covid-19 dan perekonomian nasional. Dalam Perppu ini memiliki dampak positif dan negatif bagi karyawan dan banyak pasal-pasal yang kontroversial dan tidak berpihak kepada karyawan padahal tidak semua pasal di dalam perppu Cipta Kerja Merugikan karyawan, perppu cipta kerja merupakan respon pemerintah untuk mengisi kekosongan hukum, namun perppu ini menjadi kontroversial karena pemerintah tidak mengikut sertakan serikat pekerja dalam proses pembuatan undang-undang ini sehingga banyak sekali pasal-pasal kontroversial dalam perpu ii untuk di klarifikasi dan dikaji lebih lanjut (Singhs, 2023).

 

REFRENSI

References

Singhs, A. D. (2023). Analisis Dampak Undang Undang Cipta Kerja Terhadap Hak Hak . Journal of Education Religion Humanities and Multidiciplinary, 142-149.

Sjaiful, M. (2021). Problematika Normatif Jaminan Hak-Hak Pekerja Dalam . Media Iuris, 37-60.