SETYO NUGROHO - TNI di Ranah Sipil: Ancaman Baru bagi Ketenagakerjaan Indonesia?

Oleh: Setyo Nugroho
Dipublikasikan Oleh: Ngr Network Electronic Publisher (Ngr Enterprise)
Diterima: 20 Maret 2025, 00.00 WIB

Banyumas, (20/3) Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI pada Maret 2025 telah memicu gelombang diskusi, tak hanya di kalangan militer, tetapi juga di dunia ketenagakerjaan. Salah satu poin krusial dalam revisi UU No. 34 Tahun 2004 ini adalah perluasan jabatan sipil yang dapat diisi prajurit TNI aktif, dari 10 menjadi 16 lembaga, termasuk Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di tengah tingginya angka pengangguran dan tantangan ketenagakerjaan seperti informalitas dan rendahnya perlindungan pekerja, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan: apakah keterlibatan TNI dalam ranah sipil justru memperburuk dinamika lapangan kerja? Urgensi isu ini terletak pada potensi tergesernya tenaga kerja sipil dan kembalinya dwifungsi militer yang dapat mengancam demokrasi ketenagakerjaan. Saya berpendapat bahwa kebijakan ini, meski bertujuan strategis, berisiko menciptakan ketimpangan baru di pasar tenaga kerja.


Simpang Siur Nasib
Ketenagakerjaan Indonesia tengah berada di persimpangan kritis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat angkatan kerja mencapai 148 juta orang, dengan 7,2 juta di antaranya menganggur dan 40 juta lainnya bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial. Di sisi lain, pengesahan RUU TNI membuka peluang baru bagi prajurit aktif untuk menduduki posisi di lembaga sipil. Meski dijustifikasi sebagai upaya memperkuat koordinasi keamanan nasional, langkah ini memiliki implikasi serius terhadap ketenagakerjaan. Pertama, perluasan peran TNI ke ranah sipil berpotensi mengurangi peluang kerja bagi tenaga sipil profesional. Jabatan di 16 lembaga yang kini terbuka bagi prajurit aktif—seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) atau Kejaksaan Agung—sebelumnya diisi oleh tenaga sipil yang memiliki keahlian spesifik. Menurut laporan International Labour Organization (ILO) 2024, Indonesia masih kesulitan menyerap tenaga kerja terampil, dengan tingkat penyerapan di sektor publik hanya 15% dari total lulusan perguruan tinggi setiap tahun. Ketika posisi strategis ini diambil alih prajurit TNI, peluang bagi lulusan sipil semakin menyempit, terutama di tengah persaingan ketat akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru. Kedua, kebijakan ini dapat memperkuat narasi dwifungsi militer yang telah ditinggalkan pasca-Reformasi 1998. Selama Orde Baru, dwifungsi ABRI memungkinkan militer mendominasi berbagai sektor, termasuk ketenagakerjaan, melalui penempatan personel di posisi sipil. Revisi RUU TNI ini, meski tidak sefrontal dwifungsi lama, membuka celah bagi militer untuk kembali memengaruhi kebijakan publik, termasuk di sektor ketenagakerjaan. Contoh nyata adalah kasus penempatan TNI di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sektor ini, yang menyerap jutaan pekerja informal seperti nelayan, membutuhkan pendekatan sipil yang berbasis pemberdayaan ekonomi, bukan pendekatan keamanan yang identik dengan militer. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan pekerja, kehadiran TNI justru berisiko menggeser fokus dari pembangunan ketenagakerjaan ke isu keamanan semata. Ketiga, ada ancaman terhadap profesionalisme ketenagakerjaan. Prajurit TNI, yang dilatih untuk pertahanan dan operasi militer, tidak selalu memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan jabatan sipil. Misalnya, di Kejaksaan Agung, peran jaksa militer (Jampidmil) memang ada, tetapi memperluas jabatan untuk TNI aktif tanpa kejelasan mekanisme pelatihan sipil dapat menurunkan kualitas layanan publik. Ini kontras dengan negara seperti Jepang, yang memisahkan tegas fungsi militer dan sipil untuk menjaga efisiensi dan spesialisasi tenaga kerja. Namun, pendukung RUU TNI berargumen bahwa keterlibatan militer diperlukan untuk mengatasi ancaman modern seperti terorisme atau bencana alam, yang sering kali membutuhkan koordinasi lintas sektoral. Mereka menunjukkan bahwa lembaga seperti BNPT dan BNPB memang memerlukan keahlian TNI. Meski ada benarnya, argumen ini tidak menjawab bagaimana penempatan TNI akan memengaruhi dinamika ketenagakerjaan secara keseluruhan, terutama di sektor yang tidak berkaitan langsung dengan keamanan. 

Perlu Solusi Strategis
Untuk mengatasi risiko ini, pemerintah perlu mengambil langkah strategis. Pertama, batasi penempatan TNI aktif hanya pada lembaga yang benar-benar relevan dengan fungsi pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan atau BNPT, dan larang di sektor yang berorientasi ketenagakerjaan sipil seperti KKP. Kedua, prioritaskan pelatihan ulang (reskilling) bagi prajurit yang akan menduduki jabatan sipil, agar mereka memiliki kompetensi setara dengan tenaga profesional sipil. Ketiga, tingkatkan investasi pada penciptaan lapangan kerja baru di sektor swasta untuk mengimbangi potensi penyempitan peluang di sektor publik. Kritik utama saya tertuju pada kurangnya kajian dampak ketenagakerjaan dalam proses pengesahan RUU TNI. Pemerintah dan DPR seolah mengabaikan fakta bahwa pasar kerja Indonesia sudah terbebani oleh tingginya informalitas dan pengangguran terbuka. Tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini bisa menjadi bumerang: alih-alih memperkuat stabilitas nasional, justru menciptakan ketidakadilan baru bagi pekerja sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (2025) bahkan memperingatkan bahwa perluasan jabatan sipil bagi TNI dapat mengarah pada militerisme, yang bertentangan dengan supremasi sipil dalam demokrasi. Ini berkaca pada kejadian 1998 dimana peran militer sangat besar dalam berbagai lini negara, saat ini dikutip dari Tempo Bocor Alus 15 Maret 2025, dimana saat ini ada 2500 kursi Kementrian dan Non-Kementrian yang terisi oleh militer aktif. Ini sangat membahayakan, dengan adanya pengesahan RUU ini seperti melegimasi kesalahan yang diperbuat negara. Hilangnya wibawa negara ketika kesalahan demi kesalahan diperbaiki dengan mengubah aturan kemudian.

Simpulan
Pengesahan RUU TNI membawa angin segar bagi modernisasi pertahanan, tetapi juga bayang-bayang bagi ketenagakerjaan. Keterlibatan TNI di ranah sipil, jika tidak diatur dengan bijak, berisiko memperburuk ketimpangan lapangan kerja dan mengikis profesionalisme sektor publik, pemerintah seperti terburu-buru dan beringas menyuapi pada pemilik kepentingan untuk mengesahkan aturan yang sebenarnya membahayakan bagi dirinya (negara) sendiri. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak mengorbankan hak pekerja sipil demi ambisi keamanan, dan pemerintah harus berkomitmen kuat untuk rakyat ketimbang kaum pemilik kepentingan, kita seperti ditekan dan mereka (pemilik kepentingan) dipuja layaknya raja yang haus kekuasaan. Keseimbangan antara peran militer dan sipil adalah kunci—tanpa itu, Indonesia bisa terjebak dalam nostalgia dwifungsi yang merugikan masa depan tenaga kerja kita.

Referensi
BPS. (2025). Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2025. https://www.bps.go.id/id/publication/2025/02/28/8cfe1a589ad3693396d3db9f/statistik-indonesia-2025.html
ILO. (2024). Employment Trends in Developing Countries. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. (2025). Siaran Pers: RUU TNI dan Ancaman Militerisme.
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi 2025).
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi 2025).
Siaran Pengesahan RUU TNI 20 Maret 2025. TVR Parlemen Via TVONE.